Program Doktor Psikologi Universitas Airlangga

Amanat UU No. 12 Tahun 2012 telah menekankan tanggung jawab perguruan tinggi untuk serius menjalankan pendidikan doktor yang berbeda dari jenjang studi lain, baik dari sisi muatan dan kedalaman materi maupun proses pembelajarannya. Menurut Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang ditetapkan Presiden Republik Indonesia pada Tahun 2012, pendidikan doktor diharuskan mampu menghasilkan lulusan setara jenjang 9 dengan kualifikasi: (1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi dan/atau seni baru, di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji; (2) Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya, melalui pendekatan inter, multi dan transdisipliner; serta (3) Mampu mengelola, memimpin dan mengembangkan riset, dan pengembangan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional.

Namun demikian idealisme pendidikan doktor seringkali menemui banyak tantangan, hingga berujung pada praktik pendidikan yang justru bertentangan dengan ketentuan seharusnya. Kasus plagiarisme disertasi dan pengkarbitan doktor yang marak diberitakan beberapa waktu terakhir merupakan buktinya.

 

Kebutuhan Jumlah Doktor vs Kesiapan Studi

Kemenristekdikti menyatakan Indonesia masih kekurangan doktor. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) mencatat jumlah dosen bergelar S3 pada 2017 masih sebanyak 34.223 orang, atau 14 persen dari total 250 ribu dosen. Jumlah tersebut di bawah target pemerintah, yaitu minimal terdapat 20 persen dosen yang bergelar doktor. Persoalan ini melahirkan berbagai upaya menggenjot para dosen melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. Alhasil, perguruan tinggi kemudian merespon dengan mendorong dan memfasilitasi para dosennya untuk segera menempuh pendidikan S3. Hanya saja dorongan tersebut tidak selalu diimbangi dengan kesiapan para calon doktor dalam menempuh studi lanjut.

Pengalaman penulis dalam proses seleksi calon mahasiswa doktoral selalu menemukan adanya calon doktor yang minim bahkan tidak memiliki pengalaman meneliti di luar skripsi dan tesisnya. Mereka juga minim pengalaman dalam melakukan publikasi ilmiah. Kualitas mahasiswa seperti ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pengelola prodi S3 untuk meningkatkan kompetensi riset dan publikasi artikel ilmiah, di tengah masa studi yang terbatas dan adanya tuntutan publikasi hasil disertasi doktor pada jurnal internasional bereputasi.

Mahasiswa yang memiliki beberapa pengalaman penelitian pun tidak sedikit yang masih kesulitan memenuhi tuntutan studi. Beberapa indikasi tampak dari jumlah mahasiswa doktoral yang dinyatakan gagal studi, lamanya waktu penyelesaian disertasi, banyaknya riset yang tidak dapat dipublikasikan sehingga jumlah publikasi ilmiah tidak sejalan dengan jumlah lulusan. serta masih banyaknya publikasi mahasiswa doktoral yang tidak terdeteksi berbagai situs pencarian informasi terbuka. Simpulan hasil riset menunjukkan bahwa kondisi tersebut disebabkan ketidakmampuan mahasiswa doktoral mengelola fokus studi di tengah tugas dan peran yang lain, lemahnya kemandirian belajar dan ketrampilan dalam menyelesaikan masalah, lemahnya ketrampilan meneliti, serta lemahnya kemampuan dalam penulisan akademik (Hendriani, 2016; Bireda, 2015; Sivakumaren, 2014; Vekkaila, dkk, 2013; Pyhalto, dkk, 2012; Johnson, dkk., 2008; Bitzer, 2007).

 

Dilema Pengambilan Keputusan

Besarnya kebutuhan jumlah doktor yang seolah menuntut perguruan tinggi menerima dan meluluskan banyak mahasiswa doktoral (kutub kuantitas) pada kenyataannya tidak selalu sejalan dengan kesiapan belajar calon mahasiswa doktoral (kutub kualitas). Desakan kuantitas seharusnya dapat dipenuhi dengan tetap menjaga kualitas input, proses, dan output dari pendidikan doktor. Namun kenyataannya, seringkali jauh dari harapan.

Saat proses seleksi masuk, misalnya, pengambilan keputusan penerimaan mahasiswa pendidikan doktor tidak jarang melonggarkan kriteria ketika jumlah pendaftar kurang dari kuota, atau ketika banyaknya pendaftar dari luar daerah yang dinilai mendukung pemerataan asal domisili mahasiswa meski kompetensi dinilai kurang. Perguruan tinggi dalam contoh tersebut lebih memilih mendahulukan pemenuhan kuantitas daripada kualitas input.

Dalam proses pembelajaran, contoh lain, studi doktoral menghendaki mahasiswa mampu menunjukkan pemahaman konseptual dan teoritik yang dituangkan dalam naskah tugas maupun disertasi. Akan tetapi dalam berbagai kesempatan menilai tugas mahasiswa doktoral, dosen tidak jarang menemukan data yang berkebalikan, seperti isi tugas yang memprihatinkan, atau naskah disertasi yang lemah argumentasi, analisis maupun metodologi. Pendek kata, hasil karya yang belum setara jenjang studinya.

Dilema muncul antara memilih bersikap tegas menyatakan tidak layak atau justru melunak, memberi kemudahan demi mempertimbangkan “sisi kemanusiaan” karena mereka sudah terlanjur diterima sebagai mahasiswa. Sayang, tidak sedikit dosen yang mengeluhkan rendahnya kualitas tugas dan disertasi, namun tetap meluluskan pada saat ujian, dan bahkan memberikan nilai baik.

Toleransi dan inkonsistensi tersebut membuka peluang maraknya kasus pengabaian tindak plagiarism dan pengkarbitan doktor, sehingga sekian banyak doktor dapat lulus dengan kualifikasi minim dan karya ilmiah yang sebenarnya tidak memadai. Tentu saja hal ini akan semakin menambah persoalan serius di dunia pendidikan tinggi. Doktor-doktor karbitan yang oleh awam dipandang berilmu tinggi namun senyatanya tidak berkualitas akan menjadi virus yang dapat menyebarkan kesalahpahaman, sesat pikir mahasiswa terhadap bidang ilmunya. Apalagi jika yang bersangkutan kemudian memegang jabatan tertentu, posisi berpengaruh yang menentukan di perguruan tinggi.

 

Langkah Menjaga Idealisme

Pertama, disiplin memilih mahasiswa dengan kualifikasi yang memenuhi persyaratan adalah langkah penting yang perlu dilakukan ketimbang mengambil risiko menerima calon mahasiswa yang belum siap belajar secara mandiri. Konsekuensinya, perguruan tinggi boleh jadi harus mengorbankan kuota yang tidak terpenuhi.

Dapat saja keputusan lebih berat untuk menerima calon mahasiswa yang belum siap belajar mandiri. Namun pilihan ini hendaknya diikuti oleh strategi khusus untuk mendorong mereka fokus pada studi sehingga perkembangan kompetensinya juga signifikan. Risiko melonggarkan input diatasi dengan menguatkan proses. Tapi hal ini juga akan memunculkan tantangan lain yang tidak ringan mengingat mahasiswa pendidikan doktoral di dalam negeri umumnya menempuh studi sambil tetap bekerja. Akibatnya, komitmen untuk fokus belajar mahasiswa doktoral di dalam negeri ini rata-rata masih di bawah mereka yang menempuh studi lanjut ke luar negeri.

Kedua, disiplin menjaga kualitas pembelajaran dan meminimalkan inkonsistensi perlakuan dengan tegas mengambil keputusan kepada mahasiswa yang tidak mampu menunjukkan kemajuan studi pada setiap periode evaluasi. Disiplin dan ketegasan staf pengajar dalam menegakkan ketentuan akan menjamin diperolehnya lulusan doktor yang benar-benar handal.

Ketiga, memberikan pendampingan proses belajar melalui berbagai kegiatan yang terencana untuk mengantisipasi ketidakmampuan mahasiswa dalam mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui, khususnya dalam melaksanakan penelitiannya. Pendampingan juga akan membantu mahasiswa untuk mengedepankan kejujuran dan prosedur yang benar dalam menyelesaikan studi, tidak membiasakan diri mencari langkah-langkah penyelesaian yang bertentangan dengan kode etik akademik.

 

Ditulis oleh: Dr. Wiwin Hendriani, M.Si.

Koordinator Program Studi Doktor Psikologi

Universitas Airlangga

*****